INFO7.ID, TANGERANG Musyawarah untuk mufakat, sebagai nilai luhur dalam budaya Indonesia, kembali mendapat perhatian dalam diskusi mengenai pengambilan keputusan yang demokratis dan berkeadilan. Konsep ini mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan yang telah lama menjadi dasar dari harmoni dalam masyarakat Indonesia yang beragam.
Sebagai mekanisme pengambilan keputusan, musyawarah untuk mufakat mengutamakan proses diskusi bersama yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan tanpa adanya paksaan. Di tengah tantangan modernisasi yang seringkali mengikis nilai-nilai tradisional, prinsip ini tetap relevan sebagai pedoman dalam mengambil keputusan yang inklusif dan berkeadilan.
Secara etimologi, “musyawarah” berasal dari bahasa Arab yang berarti bertukar pikiran, sementara “mufakat” berarti kesepakatan bersama. Nilai ini menjadi salah satu dasar dalam sistem pemerintahan Indonesia, yang tercermin dalam sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Musyawarah untuk mufakat bukan hanya menjadi bagian penting dari proses demokrasi, tetapi juga memberikan manfaat signifikan bagi kehidupan bermasyarakat. Proses ini melibatkan semua pihak dalam diskusi yang menciptakan rasa kebersamaan dan mengurangi potensi konflik. Setiap individu diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat, sehingga keputusan yang diambil mencerminkan aspirasi kolektif dan menghindari dominasi pihak tertentu.
Keputusan yang dicapai melalui kesepakatan bersama ini lebih mudah diterima oleh semua pihak yang terlibat, menciptakan hasil yang kokoh dan membawa manfaat jangka panjang.
Namun, penerapan musyawarah untuk mufakat tidak tanpa tantangan. Proses diskusi yang melibatkan banyak pihak sering kali membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai kesepakatan. Selain itu, perbedaan kepentingan yang muncul akibat keberagaman pandangan dalam masyarakat seringkali membuat mufakat sulit tercapai.
Tidak jarang pula terdapat kekurangan kesadaran kolektif, di mana beberapa individu atau kelompok lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. Tantangan-tantangan ini, menurut para pakar, dapat diatasi dengan keterbukaan, penghargaan terhadap perbedaan, dan komitmen untuk mencari solusi yang mengutamakan kepentingan bersama.
Ketua Dewan Kebudayaan Nasional, Dr. Andi Susilo, menegaskan bahwa musyawarah untuk mufakat tetap relevan meskipun di tengah arus globalisasi. “Musyawarah adalah cara terbaik untuk menyatukan berbagai pandangan di tengah keberagaman. Nilai ini mengajarkan kita untuk berdiskusi dengan bijaksana, menghormati perbedaan, dan membangun kesepakatan bersama,” ujarnya.
Dr. Andi juga menyoroti peran penting seorang pemimpin yang bijaksana dalam memastikan proses musyawarah berjalan dengan adil, kondusif, dan terarah, agar tujuan bersama dapat tercapai dengan baik.
Sementara itu, Mulyadi, mahasiswa Universitas Pamulang (Unpam) Serang, berpendapat bahwa musyawarah untuk mufakat bukan sekadar tradisi, tetapi juga pilar demokrasi yang mampu menjawab tantangan zaman. Dengan menjadikannya sebagai pedoman, Indonesia dapat terus menjaga harmoni, solidaritas, dan keadilan di tengah keberagaman.
“Prinsip ini perlu terus digaungkan sebagai solusi dalam pengambilan keputusan bersama. Ini juga menjadi pengingat bahwa bersama kita kuat, dengan mufakat kita bersatu,” imbuhnya, Senin 2 Desember 2024.
Musyawarah untuk mufakat bukan hanya tentang mencapai kesepakatan, tetapi juga tentang membangun kebersamaan, menghargai perbedaan, dan mengambil keputusan yang adil bagi semua pihak. Di tengah tantangan zaman, prinsip ini tetap menjadi pilar utama demokrasi Indonesia yang harus terus dijaga dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis : Mulyadi