INFO7.ID, CIANJUR | Kasus pidana dengan nomor perkara 262/Pid.Sus/2024/PN Cjr yang melibatkan Antonius Anak Lukminto, terdakwa pengidap skizofrenia paranoid, terus berlanjut di Pengadilan Negeri Cianjur. Terdakwa menghadapi kesulitan besar dalam mendapatkan akses pengobatan yang diperlukan selama masa tahanan di Lapas. Berdasarkan surat yang diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri Cianjur pada 25 September 2024, dengan tembusan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Cianjur, pihak Lapas mengungkapkan bahwa Antonius membutuhkan perawatan medis lanjutan untuk mencegah perburukan kondisi mentalnya.
Surat tersebut juga menyebutkan bahwa Antonius menunjukkan gejala psikologis yang memprihatinkan selama di Lapas, seperti kegelisahan, berbicara tidak nyambung, kesulitan tidur, dan halusinasi berupa bisikan-bisikan. Meski demikian, akses terhadap obat-obatan yang diperlukan untuk menjaga kestabilan kondisinya dihentikan atau diabaikan. Informasi ini disampaikan kepada keluarga Antonius oleh seorang petugas Lapas yang memberikan bukti surat tersebut.
Pada sidang pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 11 November 2024, kuasa hukum Antonius, Adv. Donny Andretti, S.H., S.Kom., M.Kom., C.Md., dari Subur Jaya Lawfirm dan Ketua Umum FERADI WPI, mengajukan permohonan pembantaran agar Antonius dapat menjalani pengobatan di bawah pengawasan psikiater. Tim kuasa hukum menekankan pentingnya akses pengobatan bagi Antonius, mengingat kondisi kejiwaannya yang membutuhkan obat-obatan untuk mencegah risiko relaps.
Keluarga Antonius juga mempertanyakan keabsahan visum psikiatrik yang diterbitkan oleh RS Sartika Asih Bandung, yang menggunakan metode SCL-90 untuk menilai kapasitas terdakwa dalam menjalani hukuman. Menurut konsultasi dengan SPKJ Forensik RSCM, Dr. Natalia, SCL-90 seharusnya tidak digunakan dalam konteks hukum, karena hanya mengukur tingkat kecemasan dan depresi pada saat tes dilakukan. Penggunaan metode ini dianggap melanggar prosedur yang tercantum dalam Permenkes No. 77 tentang standar pemeriksaan kejiwaan.
Lebih lanjut, keluarga juga menyesalkan informasi yang salah yang diterima, di mana mereka diberitahukan bahwa Antonius telah mendapatkan pengobatan di RS Sartika Asih, termasuk obat-obatan seperti Ativan dan Olanzapine. Namun, kenyataannya, pengobatan tersebut tidak pernah diberikan.
Pada sidang sebelumnya, saksi SPKJ Dr. Fransisca Irma Simarmata yang dihadirkan oleh JPU menegaskan bahwa Antonius harus mengonsumsi obat kejiwaan secara rutin untuk menghindari risiko relaps, terutama setelah beberapa bulan tanpa pengobatan. Dr. Natalia menambahkan bahwa JPU seharusnya membuktikan unsur niat dan kapasitas mental terdakwa saat kejadian, bukan hanya berdasarkan kondisi mental terdakwa setelahnya, karena tes SCL-90 hanya mengukur kondisi psikologis yang bersifat situasional.
Keluarga Antonius sangat prihatin dengan penanganan kesehatan terdakwa dan meminta agar akses terhadap perawatan medis yang tepat dijamin selama proses hukum berlangsung. Mereka berharap hak-hak kesehatan Antonius sebagai individu dengan skizofrenia paranoid dihormati, dan agar proses peradilan berlangsung dengan penuh keadilan, mengingat kondisi medis serius yang dialami terdakwa.
Penulis : junaedi