Jakarta, Info7.id | Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Provinsi Banten menduga ada praktik maladministrasi dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMA/SMK tahun 2022 di Provinsi Banten. Komisi X DPR RI meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melakukan evaluasi atas pelaksanaan PPDB itu.
“Apa yang jadi temuan Ombudsman, kita minta itu di follow up oleh Kemendikbud sebagai temuan awal dari pelaksanaan PPDB ini,” kata Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda kepada wartawan, Rabu (28/9/2022).
Huda menilai perlu dilakukan standarisasi yang bersifat lebih detail terhadap pelaksanaan PPDB. Menurutnya, Kemdikbud perlu memastikan proses PPDB bisa berjalan transparan, akuntabel, dan mudah diakses publik untuk pengawasan PPDB.
“Ke depan memang perlu dilakukan standarisasi yang sifatnya lebih detail lagi dari pihak Kemendikbud untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, akses publik untuk melakukan pengawasan PPDB, merevisi beberapa regulasi terkait dengan PPDB ini yang meminimalisir celah adanya temuan-temuan yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya kira kalau itu masih dirasa belum bisa menjamin tidak terjadinya praktik itu yang sekarang terjadi temuan Ombudsman ini, saya kira Kemendikbud bisa melakukan evaluasi dan dicari terobosan yang sifatnya standarisasi,” ujarnya.
Maladministrasi di PPDB Banten 2022
Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan ORI Perwakilan Provinsi Banten, Zainal Muttaqin, mengatakan maladministrasi terjadi karena pelaksanaan regulasi belum diawasi secara menyeluruh. Salah satu temuan Ombudsman yaitu kelebihan jumlah siswa di sekolah tahun ini lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya.
“Ini harus ditanggapi serius setelah sistem dikembalikan ke sekolah apakah pengawasan Dinas Pendidikan melalui KCD (Kantor Cabang Dinas) sudah maksimal atau belum untuk mencegah maladministrasi pada saat PPDB,” kata Zainal, Senin (26/9).
Persoalan kelebihan siswa dalam rombongan belajar (rombel) itu dinilai Zainal melanggar Permendiknas Nomor 24 tahun 2007 yang mengatur maksimum daya tampung dalam satu rombel.
“Dalam Permen (Permen Nomor 1 tahun 2001) atau Pergub (Pergub Nomor 7 Tahun 2022), tidak diatur mengenai kapasitas itu, sebelumnya diatur Permen Nomor 22 tahun 2016 yang sudah dicabut Permen Nomor 16 Tahun 2022 ke sana acuan daya tampung,” tambahnya.
Adanya kelebihan siswa kemudian membuka celah dugaan pelanggaran lain. Pungli misalnya, dilakukan pihak sekolah dengan modus membangun ruang kelas baru (RKB). Padahal praktik pungli tidak dibenarkan.
Namun lagi-lagi, kata Zainal praktiknya tetap dilakukan karena sekolah memaksakan menerima siswa padahal tidak punya ruang kelas. Pelanggaran ini akan sangat mempengaruhi standar pelayanan sekolah yang berdampak kepada siswa tidak bisa menerima proses pembelajaran yang ideal akibat kelas overload.
“Akhirnya ada siswa yang harus mengalami proses pembelajaran di tempat yang tidak ideal, ada ruangan yang sebetulnya bukan diperuntukkan bukan untuk ruang belajar, atau kelas menggunakan perpus atau dipaksakan lebih dari 50 siswa per kelas itu sangat tidak ideal dan merugikan siswa,” tegasnya.
Zainal mengungkapkan, kesemrawutan penyelenggaraan PPDB terjadi lantaran pejabat di Banten mulai dari aparat penegak hukum hingga instansi yang berkaitan langsung dengan PPDB belum punya komitmen asas pelaksanaan PPDB yang objektif, transparan, akuntabel, dan non diskriminasi. Akhirnya terjadi penyelewengan wewenang, praktik pungli hingga menambah jalur penerimaan di luar PPDB untuk mengakomodir siswa siswa pihak yang punya kepentingan politik maupun materiil.
“Banyak orang tua jadi korban ketika mereka harus bayar sejumlah uang agar anaknya masuk ini bukti permisifnya Dindik atau sekolah terhadap praktik yang melanggar ketentuan dan asas PPDB,” pungkasnya.
Sumber : Detiknews