Berita Jurnalistik Investigatif – Opini Hukum
Pertemuan audiensi globalbanten – antara Forum Aktivis Tangerang Raya dan BPK RI Perwakilan Banten pada Senin, 15 September 2025, yang dipimpin langsung oleh Kabid Pemeriksaan BPK RI Perwakilan Provinsi Banten, Bp. Ari Endarto, beserta jajaran, meninggalkan catatan kritis.
Forum yang dihadiri aktivis, LSM, media, dan praktisi hukum itu mengajukan sederet pertanyaan strategis terkait Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Tahun Anggaran 2024/2025. Substansi yang diangkat tidak hanya menyentuh kasus RSUD Tigaraksa, tetapi juga pagar laut Pantura, dugaan perampasan tanah masyarakat pesisir, hingga indikasi penggelapan pajak daerah yang diduga melibatkan pengembang besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, jawaban dari pihak BPK yang disampaikan Ari Endarto dan jajaran dianggap masih normatif dan belum menyentuh aspek substantif yang diharapkan publik.
LHP BPK DAN TEMUAN KRUSIAL
Dalam LHP No. 13.A/LHP/XVIII.SRG/05/2025, BPK mencatat sejumlah temuan serius :
- Pembelian lahan SHGB No. 4/Tigaraksa seluas 91.935 m² senilai Rp39,8 miliar, padahal masa berlaku SHGB telah berakhir sejak 7 Agustus 2014.
- Kelebihan pembelian tanah sebesar 64.607 m² dengan potensi kerugian Rp26,4 miliar.
- Pengembalian uang Rp32,8 miliar ke kas daerah akibat tumpang tindih lahan, yang memperlihatkan adanya kelemahan perencanaan dan pengawasan.
Selain itu, BPK juga menyoroti persoalan aset PSU, dugaan kehilangan lahan di kawasan Puspemkab, dan praktik tidak hati-hati Pemkab Tangerang dalam mengelola anggaran belanja modal tanah.
OPINI HUKUM :
WAJIB DITINDAKLANJUTI
“Menurut Akhwil, S.H., praktisi hukum dan aktivis Tangerang Raya yang hadir dalam audiensi:
“Pasal 20 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2004 jelas mewajibkan pejabat menindaklanjuti rekomendasi BPK paling lambat 60 hari. Bila ditemukan indikasi pidana, maka sesuai Pasal 10 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006, BPK harus menyerahkan hasilnya kepada Kejaksaan, KPK, atau Kepolisian. Jawaban normatif tanpa tindak lanjut konkret hanya akan melemahkan kepercayaan publik.”
Akhwil menegaskan bahwa temuan BPK dapat dijadikan alat bukti permulaan (Pasal 184 KUHAP) untuk membuka kembali kasus dugaan korupsi RSUD Tigaraksa, meski sebelumnya dihentikan dengan SP3 dan praperadilan.
ASPEK POLITIK DAN POTENSI INTERVENSI
Kelemahan jawaban BPK juga dinilai tidak lepas dari konteks politik lokal dan nasional. Publik menilai adanya potensi intervensi terkait kepentingan pilkada serta pergantian pejabat di daerah.
Fungsi sosial kontrol masyarakat menjadi penyeimbang untuk mencegah agar hasil LHP BPK “tidak terkubur” di balik dinamika kekuasaan.
“Transparansi harus dijaga. UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU KIP No. 14 Tahun 2008 menegaskan hak publik untuk tahu. Bila BPK dan Pemkab tetap pasif, kami siap melaporkan paralel ke KPK, Kejaksaan Agung, dan Ombudsman RI,” tegas Akhwil.
MASUKAN DAN SARAN KONKRET
- BPK RI Perwakilan Banten, melalui Kabid Pemeriksaan Ari Endarto, perlu menyampaikan jawaban tertulis yang substantif, bukan sekadar normatif.
- DPRD Kabupaten Tangerang harus membentuk Pansus khusus guna memastikan tindak lanjut LHP.
- Kejari/Kejati/KPK wajib menindaklanjuti LHP sebagai novum sesuai ketentuan hukum acara pidana.
- Pemkab Tangerang harus membuka data pengadaan lahan dan transaksi terkait pengembang besar secara transparan.
- Media dan masyarakat sipil perlu mengawal isu ini secara konsisten untuk mencegah stagnasi penegakan hukum.
Audiensi Forum Aktivis Tangerang Raya dengan BPK RI Perwakilan Banten menegaskan bahwa publik menolak jawaban seremonial. LHP BPK adalah dokumen hukum, bukan sekadar catatan administratif. Dengan keterlibatan langsung pejabat seperti Ari Endarto, publik menunggu tindak lanjut nyata dan transparan, bukan sekadar retorika.
Ditulis oleh: Akhwil, S.H.
Praktisi Hukum & Aktivis Tangerang Raya






